//Ancaman Cuaca Ekstrem dan Ujian Berat Ketahanan Pangan Indonesia

Ancaman Cuaca Ekstrem dan Ujian Berat Ketahanan Pangan Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan ganda dalam memenuhi kebutuhan energi yang meningkat dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Transisi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi solusi krusial, didukung oleh potensi EBT nasional yang melimpah, diperkirakan mencapai 400 gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya masih jauh dari optimal, dengan kapasitas terpasang sekitar 10 GW dari berbagai sumber seperti surya, angin, hidro, panas bumi, dan biomassa.

Potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia

Energi surya merupakan salah satu sumber EBT paling menjanjikan di Indonesia. Sebagai negara khatulistiwa, Indonesia menerima intensitas cahaya matahari yang tinggi sepanjang tahun, menghasilkan potensi energi surya sekitar 207,8 GW. Namun, pemanfaatannya masih sangat minim, hanya sekitar 150 megawatt (MW) yang terpasang. Padahal, teknologi panel surya terus berkembang, menawarkan efisiensi tinggi dan biaya yang semakin kompetitif.

Selain energi surya, energi angin juga menyimpan potensi besar. Dengan garis pantai yang panjang dan wilayah kepulauan, Indonesia memiliki daerah-daerah dengan kecepatan angin stabil, ideal untuk turbin. Potensi energi angin nasional diperkirakan mencapai 60,6 GW, namun kapasitas terpasang saat ini baru sekitar 150 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi Selatan menjadi contoh nyata keberhasilan pemanfaatan energi angin di Indonesia.

Energi hidro atau tenaga air telah lama menjadi tulang punggung penyedia listrik, dengan potensi 75 GW dan sekitar 6,5 GW telah dimanfaatkan. Indonesia juga memiliki kekayaan panas bumi, mencapai 28 GW potensi dengan 2,3 GW terpasang, berkat letaknya di jalur Cincin Api Pasifik. Selanjutnya, biomassa dari limbah pertanian dan perkebunan menawarkan potensi signifikan 32 GW, meski pemanfaatannya baru 1,9 GW.

Tantangan dan Peluang Investasi EBT

Pemanfaatan potensi EBT yang besar ini menghadapi berbagai tantangan. Hambatan utama adalah biaya investasi awal yang tinggi untuk infrastruktur EBT. Sebagai contoh, investasi pembangkit tenaga surya berkapasitas 1 GW dapat mencapai Rp 15 triliun. Angka ini menjadi pertimbangan serius bagi investor, terutama karena ketidakpastian regulasi dan skema tarif listrik yang belum sepenuhnya menarik.

Regulasi yang belum konsisten dan birokrasi yang rumit turut menjadi sorotan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif, seperti skema Power Purchase Agreement (PPA) atau keringanan pajak, implementasinya di lapangan masih memerlukan penyederhanaan. Investor membutuhkan kepastian hukum dan proses perizinan yang lebih efisien untuk meminimalkan risiko investasi.

“Pemerintah berkomitmen menciptakan iklim investasi EBT yang kondusif. Kami terus berupaya menyelaraskan regulasi, memberikan insentif yang menarik, dan mempercepat proses perizinan untuk menarik lebih banyak investor,”

Demikian ujar seorang pejabat Kementerian ESDM dalam sebuah forum diskusi. Komitmen ini esensial untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025.

Meskipun tantangan tetap ada, peluang investasi di sektor EBT Indonesia sangatlah besar. Permintaan energi yang terus tumbuh, didukung bonus demografi dan pembangunan ekonomi, menciptakan pasar yang luas. Selain itu, kesadaran global terhadap isu perubahan iklim mendorong aliran dana investasi hijau ke negara-negara berkembang. Dengan dukungan pemerintah yang kuat dan inovasi teknologi, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin EBT di tingkat regional.

Dampak dan Manfaat Transisi Energi

Transisi energi menuju EBT akan membawa dampak positif signifikan bagi Indonesia. Dari sisi lingkungan, pengurangan penggunaan bahan bakar fosil akan secara drastis menurunkan emisi gas rumah kaca dan polusi udara. Hal ini berkontribusi pada pencapaian target iklim global dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Secara ekonomi, pengembangan EBT dapat menciptakan lapangan kerja baru di sektor manufaktur, instalasi, dan pemeliharaan. Ketergantungan pada impor bahan bakar fosil juga akan berkurang, meningkatkan ketahanan energi nasional, serta menghemat devisa. Selain itu, akses listrik yang lebih merata, terutama di daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan utama, dapat terwujud melalui pembangkit EBT skala kecil dan terdesentralisasi.

Secara sosial, masyarakat akan merasakan manfaat dari udara yang lebih bersih, kesehatan yang lebih baik, dan peluang ekonomi baru. Edukasi serta partisipasi masyarakat dalam proyek EBT juga akan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan. Ini merupakan investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa yang lebih hijau dan sejahtera.

  • Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, mencapai 400 GW, namun pemanfaatannya baru sekitar 10 GW.
  • Sumber EBT utama meliputi surya (207,8 GW), angin (60,6 GW), hidro (75 GW), panas bumi (28 GW), dan biomassa (32 GW), dengan kapasitas terpasang yang masih minim.
  • Tantangan utama pengembangan EBT adalah biaya investasi awal yang tinggi, regulasi yang belum konsisten, dan birokrasi yang rumit.
  • Pemerintah berkomitmen menciptakan iklim investasi kondusif dan menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025.
  • Transisi EBT menawarkan peluang besar dalam investasi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan ketahanan energi, serta pengurangan emisi gas rumah kaca.
  • Langkah konkret dalam kebijakan dan pembangunan infrastruktur EBT menjadi kunci untuk mewujudkan masa depan energi yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi Indonesia.